“..kalo kamu pilih siape pilpres
ikak?”
“..kalo aku Jokowi wak, kalo kamu?”
“..kalo aku Prabow lah. Die tuh
tentra. Tegas die tuh. Negara ni butuh pemimpin yang tegas. Biar jadi takut
negara lain tuh”
“..ah dak cukup tegas bae wak
presiden tuh, kito tuh jugo butuh yang sederhana. Tengok nah Jokowi, birokrasi
di Jakarta sekarang kak, jadi cepat oleh die..”
“Ao lah, tapi masih banjir kan?
Hahaha”, serang si Uwak.
“Ao, tapi kan beproses..”
“..kalo kamu pilih siape?”, tanya
si Uwak yang mendukung Prabowo kepada 2 orang yang lain.
“..kalo kami Jokowi, wak. Hehe”,
jawab mereka serempak.
“Nah kan pilih Jokowi, tige banding
satu sekarang. Cakmano masih nak dukung Prabowo kamu wak? Haha..”
“Ao, aku masih nak dukung Prabowo
tu lah.”
“Nah mak ini bae, kite lempar koin,
kalo garuda Prabowo, kalo 500 Jokowi..”
“Jadi.”
(koin pun dilempar)
“Nah 500!! Berarti kamu pilih
Jokowi yo. Hahaha”, *merasa di atas angin*
“Aaahh..cubo lempar lagi..”,
*panik*
(sampai lemparan ketiga, tetap yang
muncul angka 500, si Uwak pun kalah dan )
Seperti
itulah percakapan berbahasa Linggau campur Palembang yang saya saksikan ketika
melakukan audit dana pembangunan di rumah warga yang merangkap menjadi sekretariat
lembaga swadaya masyarakat di salahsatu kelurahan di kota Labuk Linggau.
Adu
argumen yang aneh, tidak ada sedikit pun argumen yang disampaikan dengan emosi,
malah diakhiri dengan lempar koin untuk menentukan pilihan siapa yang paling
benar. Heheh.
Pemandangan
yang berbeda yang saya saksikan di media sosial, khususnya Facebook. Kebanyakan
dukungan kepada masing-masing capres-cawapres disampaikan dengan arogansi.
Tidak cukup dengan memuji capres-cawapres pilihan, namun juga ditambah dengan
sindiran bahkan caci maki kepada capres-cawapres yang lain.
Tidak
jarang Beranda Facebook dihiasi dengan artikel-artikrl dari portal berita
online yang (mungkin) sudah terlalu jauh melanggar kode etik mereka sebagai
jurnalis, artikel yang di-share
berisi kekurangan lawan dan ditambah dengan komentar yang dapat memancing
amarah pendukung lawan.
gambar ini pertama kali saya lihat dari akun twitter @candramalik
***
Run like you're born to fly
Live like you'll never die
Dare what you dare to dream
And everything in between
Live like you'll never die
Dare what you dare to dream
And everything in between
We are drawn by the rhythms
That beat through our hearts
When we all come together
We're seven billion starts
The world is ours
Ooo oh oo o ooh o o o oo
Seven billion starts
Ooo oh oo o ooh o o o oo
The world The world The world
The world is ours
~
David Correy, The World is Ours (Coca Cola 2014 FIFA World Cup) ~
***
The
World Is Ours hanyalah salah satu lagu yang menjadi theme song Piala Dunia menjelang
berlangsungnya Piala Dunia FIFA 2014. Masih ada 13 lagu lain yang dirilis
oleh FIFA sebagai theme song Piala Dunia
2014.
Berbicara
theme song Piala Dunia FIFA, bisa kita lihat dari theme song-theme song yang
mengiringi setiap gelaran sepakbola empat tahunan ini, selalu diiringi dengan
lagu-lagu dengan tempo sedang-cepat, bertemakan pesta atau karnaval, dan dengan
video klip yang diiringi dengan tarian. Ini bukti bahwa Piala Dunia FIFA bukan
hanya sebuah kompetisi, tetapi juga pesta untuk penggemar sepakbola yang memang
fanatik maupun musiman.
Begitu
pun dengan Pilpres. Bisa jadi ini adalah kompetisi untuk masing-masing pasangan
capres-cawapres juga Tim Pemenangan mereka. Tapi bagaimana dengan kita? Betul, kita
memiliki hak suara untuk Pilpres 2014 ini, tapi bukankah ini (katanya) pesta
demokrasi?
Apakah
perlu kita “berkompetisi” dengan orang yang memiliki jagoan pasangan
capres-cawapres yang berbeda dengan kita?
Apakah
perlu kita bergunjing, menjelekan pasangan capres-cawapres yang lain hanya
untuk menunjukan bahwa pasangan jagoan kitalah yang paling tepat. Kalaupun
ingin mengolok-olok, sekalian olok lah semua pasangan seperti di video di link ini
: (http://www.youtube.com/watch?v=hITLHh0flPo.)
lebih adil dan kreatif malah.
Apakah
perlu kita mati-matian membela capres-cawapres jagoan kita sampai-sampai
mematikan nalar kita.
Lebih
baik kita berpura-pura pintar, berpura-pura bijak dalam memberikan dukungan.
Toh setidaknya dengan berpura-pura pintar, kita tidak menunjukan kebodohan kita
(jika memang kita bodoh), bukankah kebodohan itu aib, dan aib harus kita
tutupi.
Saya
yakin kita bias lebih kamlem, lebih cerdas, dan lebih elok lagi dalam
memberikan dukungan. Berusaha semaksimal mungkin tidak menyinggung dan
menyakiti pihak lain. Bukankah siapa pun yang menang Pilpres ini akan menjadi
Presiden Indonesia, bukan menjadi Presiden pendukungnya saja.
Ingat
kita ini Indonesia dan Indonesia ini milik kita. Indonesia Is Ours.