Monday 9 June 2014

Indonesia Is Ours



 “..kalo kamu pilih siape pilpres ikak?”
“..kalo aku Jokowi wak, kalo kamu?”
“..kalo aku Prabow lah. Die tuh tentra. Tegas die tuh. Negara ni butuh pemimpin yang tegas. Biar jadi takut negara lain tuh”
“..ah dak cukup tegas bae wak presiden tuh, kito tuh jugo butuh yang sederhana. Tengok nah Jokowi, birokrasi di Jakarta sekarang kak, jadi cepat oleh die..”
“Ao lah, tapi masih banjir kan? Hahaha”, serang si Uwak.
“Ao, tapi kan beproses..”

“..kalo kamu pilih siape?”, tanya si Uwak yang mendukung Prabowo kepada 2 orang yang lain.
“..kalo kami Jokowi, wak. Hehe”, jawab mereka serempak.

“Nah kan pilih Jokowi, tige banding satu sekarang. Cakmano masih nak dukung Prabowo kamu wak? Haha..”
“Ao, aku masih nak dukung Prabowo tu lah.”

“Nah mak ini bae, kite lempar koin, kalo garuda Prabowo, kalo 500 Jokowi..”
“Jadi.”

(koin pun dilempar)

“Nah 500!! Berarti kamu pilih Jokowi yo. Hahaha”, *merasa di atas angin*
“Aaahh..cubo lempar lagi..”, *panik*

(sampai lemparan ketiga, tetap yang muncul angka 500, si Uwak pun kalah dan )

Seperti itulah percakapan berbahasa Linggau campur Palembang yang saya saksikan ketika melakukan audit dana pembangunan di rumah warga yang merangkap menjadi sekretariat lembaga swadaya masyarakat di salahsatu kelurahan di kota Labuk Linggau.

Adu argumen yang aneh, tidak ada sedikit pun argumen yang disampaikan dengan emosi, malah diakhiri dengan lempar koin untuk menentukan pilihan siapa yang paling benar. Heheh.

Pemandangan yang berbeda yang saya saksikan di media sosial, khususnya Facebook. Kebanyakan dukungan kepada masing-masing capres-cawapres disampaikan dengan arogansi. Tidak cukup dengan memuji capres-cawapres pilihan, namun juga ditambah dengan sindiran bahkan caci maki kepada capres-cawapres yang lain.

Tidak jarang Beranda Facebook dihiasi dengan artikel-artikrl dari portal berita online yang (mungkin) sudah terlalu jauh melanggar kode etik mereka sebagai jurnalis, artikel yang di-share berisi kekurangan lawan dan ditambah dengan komentar yang dapat memancing amarah pendukung lawan.

gambar ini pertama kali saya lihat dari akun twitter @candramalik 
***
Run like you're born to fly
Live like you'll never die
Dare what you dare to dream
And everything in between

We are drawn by the rhythms
That beat through our hearts
When we all come together
We're seven billion starts

The world is ours
Ooo oh oo o ooh o o o oo
Seven billion starts
Ooo oh oo o ooh o o o oo
The world The world The world
The world is ours

~ David Correy, The World is Ours (Coca Cola 2014 FIFA World Cup) ~

***
The World Is Ours hanyalah salah satu lagu yang menjadi theme song Piala Dunia menjelang berlangsungnya Piala Dunia FIFA 2014. Masih ada 13 lagu lain yang dirilis oleh  FIFA sebagai theme song Piala Dunia 2014.

Berbicara theme song Piala Dunia FIFA, bisa kita lihat dari theme song-theme song yang mengiringi setiap gelaran sepakbola empat tahunan ini, selalu diiringi dengan lagu-lagu dengan tempo sedang-cepat, bertemakan pesta atau karnaval, dan dengan video klip yang diiringi dengan tarian. Ini bukti bahwa Piala Dunia FIFA bukan hanya sebuah kompetisi, tetapi juga pesta untuk penggemar sepakbola yang memang fanatik maupun musiman.



Begitu pun dengan Pilpres. Bisa jadi ini adalah kompetisi untuk masing-masing pasangan capres-cawapres juga Tim Pemenangan mereka. Tapi bagaimana dengan kita? Betul, kita memiliki hak suara untuk Pilpres 2014 ini, tapi bukankah ini (katanya) pesta demokrasi?

Apakah perlu kita “berkompetisi” dengan orang yang memiliki jagoan pasangan capres-cawapres yang berbeda dengan kita?

Apakah perlu kita bergunjing, menjelekan pasangan capres-cawapres yang lain hanya untuk menunjukan bahwa pasangan jagoan kitalah yang paling tepat. Kalaupun ingin mengolok-olok, sekalian olok lah semua pasangan seperti di video di link ini : (http://www.youtube.com/watch?v=hITLHh0flPo.) lebih adil dan kreatif malah.

Apakah perlu kita mati-matian membela capres-cawapres jagoan kita sampai-sampai mematikan nalar kita.

Lebih baik kita berpura-pura pintar, berpura-pura bijak dalam memberikan dukungan. Toh setidaknya dengan berpura-pura pintar, kita tidak menunjukan kebodohan kita (jika memang kita bodoh), bukankah kebodohan itu aib, dan aib harus kita tutupi.

Saya yakin kita bias lebih kamlem, lebih cerdas, dan lebih elok lagi dalam memberikan dukungan. Berusaha semaksimal mungkin tidak menyinggung dan menyakiti pihak lain. Bukankah siapa pun yang menang Pilpres ini akan menjadi Presiden Indonesia, bukan menjadi Presiden pendukungnya saja.

Ingat kita ini Indonesia dan Indonesia ini milik kita. Indonesia Is Ours.